Rabu, 28 November 2012

JANGAN LUPAKAN KAMI SAUDARAMU

Oleh : Toto Pardamean Sinaga. Ketika menapaki Samosir,ada rasa keterasingan tatkala tak setitikpun kampung nenek moyangku ini memperlihatkan simbol-simbol Islam sebagai agama yang kuanut. Tak ada yang perlu disesali karena akupun menghormati kepercayaan saudara-saudaraku yang kebetulan memang tinggal berdiam di Pulo Samosir ini.
Sepanjang jalan dari pelabuhan Tomok hingga Pangururan yang kutempuh dalam mencoba menapaki jejak sejarah ini,simbol-simbol Agama Kristen yang terpandang sehingga aku berpikir mengapa tak ada saudaraku yang Muslim disini. Mengapa tidak ada keinginan mereka untuk memberi tanda bahwa sebenarnya Marga Sinaga itu tidak identik dengan Kristen sebab tidak sedikit kami beragama Islam. Pertanyaan berikutnya mengapa juga Tanah Batak ini seperti diklaim sebagai wilayah teritorial agama Kristen ? Saya tidak sedikitpun mempersoalkan agama Kristen, sebab hal itu adalah pilihan dan bukan sesuatu yang dipaksakan.Tetapi seringkali tidak disadari bahwa penonjolan agama berlebihan bisa berpengaruh buruk terhadap keharmonisan yang sudah terbangun oleh sistem kekerabatan yang ada di tengah-tengah bangsa Batak jauh sebelum kedatangan agama-agama tersebut termasuk Kristen maupun Islam. Bagi kami turunan Marga Sinaga yang beragama Islam terkadang merasa diabaikan tatkala dalam berbagai kegiatan adat dan budaya menjadi terhalang untuk mengikutinya karena didalamnya terselip beberapa kegiatan yang tak dapat kami ikuti.Misalnya;pemotongan hewan babi sebagai santapan yang bagi kami diharamkan agama yang kami anut. Berkaitan dengan hal ini tentu saja mengundang tanda tanya besar, sebab kami tidak melihat adanya kewajiban dalam budaya Batak untuk menjadikan hewan babi sebagai binatang utama sebagai sajian dalam berbagai acara. Hal ini terlihat pada desain rumah adat Batak,diatas atap tepat pada ujung bubungannya sebelah depan terpampang kepala kerbau (sebagai binatang/hewan yang dihormati) dijadikan sebagai simbol,bukan kepala babi. Demikian juga dalam acara-acara adat,misalnya hukuman denda atas tindakan melanggar adat,kerbaulah yang dijadikan sebagai alat tukar/nominal/harga yang harus dibayar (denda). Kesan yang kami sampaikan ini tidak bermaksud untuk mempersoalkan perbedaan kepercayaan, tetapi lebih fokus pada upaya mengembalikan keeratan,kekerabatan,persaudaraan diantara para turunan Batak (umumnya) dan keluarga besar marga Sinaga (khususnya). Kita membayangkan betapa indahnya ikatan persaudaraan turunan Sinaga yang tidak terganggu dengan perbedaan kepercayaan sehingga turunan Sinaga ini bisa menjadi pelopor yang bisa menjaga keharmonisan dan kerukunan antara sesamanya dan tidak menjadikan agama sebagai sekatan-sekatan bahkan agama masing-masing bisa membuat keluarga besar ini menjadi saling menjaga dan menghormati sesamanya,memperindah hubungan persaudaraan. Setibanya di Tugu Toga Sinaga di desa Urat ada rasa optimisme bahwa marga Sinaga ini bisa menjadi pelopor,contoh bagaimana menghadirkan kultur Batak yang tidak bersinggungan dengan sensitifitas agama. Pada Tugu Toga Sinaga itu tak satupun simbol-simbol utama agama yang ditonjolkan, bahkan yang lebih mengagumkan dipucuk tugunya berdiri sebuah Timbangan yang mensiratkan arti keadilan,budi baik,kebijaksanaan,keseimbangan,dan kearifan berpikir. Tugu itu telah mengusik hati kami sehingga mampu melupakan kegundahan yang diperoleh disepanjang jalanan Tomok hingga desa Urat. Semoga seluruh keluarga Marga Sinaga Muslim mau berkunjung kekampung leluhurnya ini untuk turut mewarnai kekayaan budaya dan sosial keluarga besar marga Sinaga.